Fatwa Ulama: Apakah Berobat Ketika Sakit Berarti Tidak Tawakal?
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Soal:
Sebagian ulama mengatakan yang ringkasnya, bahwa tidak wajib berobat ketika sakit walaupun seseorang merasa bahwa berobat itu memberi manfaat dan meninggalkannya lebih utama. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, alasannya karena itu lebih dekat kepada tawakal dan juga karenaal khabar ash shiddiq. Kami mohon penjelasan mengenai masalah ini, dan apa yang dimaksud al khabar ash shiddiq, dan bagaimana pendapat anda dalam masalah ini?
Jawab:
Yang benar, berobat ketika sakit itu mustahab (dianjurkan) dan disyariatkan. An Nawawi dan jumhur ulama menyebutkan demikian. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa dalam hal ini sama tingkatnya, baik berobat atau tidak. Tidak dianjurkan dan tidak dimakruhkan. Namun halal hukumnya.
Sebagian ulama yang lain berbendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama. Diriwayatkan dari Ash Shiddiq bahwa beliau ketika sakit dan ada yang berkata kepadanya: “Saya akan panggilkan tabib untukmu”, ia mengatakan:
الطبيب أمرضني
“tabib justru membuatku tambah sakit”
namun tidak diketahui bagaimana kesahihan riwayat ini.
Intinya, pendapat jumhur ulama adalah yang tepat dalam masalah ini, bahwa berobat itu dianjurkan. Dengan menggunakan metode pengobatan yang syar’i, mubah dan tidak mengandung keharaman. Contohnya semisal berobat dengan bacaan Al Qur’an atau ruqyah syar’iyyah, dan berobat dengan kay. Mengenai kay, ini dibolehkan jika ada kebutuhan.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa meruqyah beberapa sahabat beliau. Jibril ‘alaihissalam pun pernah meruqyah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka berobat tidak mengapa. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عباد الله تداووا ولا تداووا بحرام
“wahai hamba Allah, berobatlah namun jangan berobat dengan yang haram” (HR. At Tirmidzi no. 3874)
maka berobat itu adalah perkara yang disyariatkan, tidak mengapa, dan tidak menafikan tawakal.
Tawakal mencakup 2 perkara: bergantung dan pasrah kepada Allah dan mengambil sebab. Tidak boleh seseorang berkata: “saya cukup bertawakal kepada Allah, saya tidak makan, tidak minum, tidak nikah, dan tidak mengambil sebab, saya juga tidak berjual-beli, tidak bercocok tanam, tidak membuat produk, dst”. Ini adalah sebuah kesalahan. Maka, mengambil sebab itu tidaklah menafikan tawakal. Bahkan mengambil sebab merupakan bagian dari tawakal. Demikianlah hubungan antara berobat dengan tawakal. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing kita untuk berobat ketika sakit. Beliau ketika ditanya mengenai ruqyah dan pengobatan menjawab:
هي من قدر الله
“itu merupakan takdir Allah” (HR. At Tirmidzi no. 2965, Ibnu Majah 3437).
Umar radhiallahu’anhu ketika datang ke Syam, ketika itu sedang terjadi wabah tha’un, orang-orang tidak jadi pergi ke Syam dan Umar ikut pulang bersama mereka. Ia berkata:
نفر من قدر الله إلى قدر الله
“kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah”
Kemudian Abdurrahman bin Auf menyampaikan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فإذا سمعتم به في بلد فلا تقدموا عليه
“jika kalian mendengar ada penyakit mewabah di suatu negeri maka janganlah memasukinya” (HR. Al Bukhari 5728, Muslim 2218).
Ia pun senang mendengar hal itu karena, ternyata yang ia lakukan termasuk sunnah.
Maka intinya, pendapat yang tepat adalah bahwa berobat adalah perkara yang disyariatkan. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Namun barangsiapa yang tidak berobat, maka tidak mengapa. Tapi ketika dalam suatu kondisi, disangka kuat bahwa berobat itu sangat bermanfaat baginya dan sakitnya sudah sangat para, maka lebih dianjurkan untuk berobat. Karena jika tidak berobat, itu akan membahayakan dirinya. Selain itu akan membuat repot keluarganya dan pembantunya. Maka berobat itu memiliki maslahah bagi diri sendiri dan juga keluarga. Karena berobat itu membantu untuk mengambil sebab kesembuhan dan membantu kita untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sehingga (jika sudah sehat) kita bisa shalat di masjid, bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat dan diri sendiri. Jika seseorang sakit, ia terhalang dari banyak perkara, walaupun memang ia bisa mendapatkan pahala sebagaimana jika ia dalam kondisi sehat. Sebagaimana dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
إذا مرض العبد أو سافر كتب الله له ما كان يعمل وهو صحيح مقيم
“jika seorang hamba sakit atau sedang safar, maka ditulis baginya pahala sebagaimana ketika ia sehat dan tidak safar” (HR. Abu Daud 3091).
Ini merupakan karunia dari Allah Jalla wa ‘Alaa. Namun dengan berobat, banyak sekali maslahah-nya, jika berobatnya dengan cara yang syar’i dan pengobatan yang mubah, inilah yang lebih tepat.
Adapun yang berpendapat bahwa sama saja antara berobat atau tidak, atau berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih afdhal, ini adalah pendapat yang lemah. Dan kebenaran lebih layak untuk diikuti, dan dalil-dalil syariat berlaku untuk semua orang.
Adapun argumen mereka dengan hadits 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab, mereka yang 70.000 orang itu meninggalkan pengambilan sebab. Yang mereka tinggalkan adalah istirqa’, yaitu meminta di ruqyah oleh orang lain. Hal ini memang lebih utama ditinggalkan. Juga meninggalkan kay, itu lebih utama. Namun jika ada kebutuhan, tidak mengapa melakukan kay. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الشفاء في ثلاث؛ كية نار، أو شرطة محجم، أو شربة عسل، وما أحب أن أكتوي
“penyembuhan itu ada pada 3 metode: kay api, bekam dan minum madu, namun aku tidak suka melakukan kay” (HR. Al Bukhari 5680).
dan dalam lafazh yang lain beliau bersabda:
وأنا أنهى أمتي عن الكي
“aku melarang umatku untuk melakukan kay” (HR. Al Bukhari 5681)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau pernah melakukan kay jika ada kebutuhan. Maka tidak mengapa melakukannya, karena ia adalah sebab yang mubah jika ada kebutuhan.
Dan istirqa artinya meminta diruqyah. Namun jika seseorang diruqyah tanpa memintanya maka ini merupakan sebab yang dibolehkan tanpa dimakruhkan.
Sedangkan thiyarah dalam hadits 70.000 orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan kay dan tidak ber-tathayyur, di sini thiyarah (tathayyur) adalah haram dan merupakan syirik asghar. thiyarah adalah merasa ada kesialan dengan tanda-tanda yang terlihat atau terdengar sehingga tidak jadi melakukan hajatnya. Ini tidak diperbolehkan, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
وعلى ربهم يتوكلون
“mereka bertawakal kepada Rabb mereka” (HR. Al Bukhari 5705, Muslim 218).
Hadits ini mencakup perihal pengobatan maupun yang lainnya. Karena ber-tawakal itu tidak menghalangi kita untuk mengambil sebab. Bukankah anda makan? Bukankah anda minum? Makan itu merupakan sebab untuk kenyang dan kuat serta sehatnya badan. Demikian juga minum. Tidak boleh seseorang berkata: “saya tidak makan dan tidak minum, saya cukup tawakal saja kepada Allah untuk bisa bertahan hidup sehat”. Ini tidak boleh, dan tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan demikian. Demikian juga kita memakai baju yang tebal di musim dingin, karena udara dingin bisa membahayakan diri. Demikian juga termasuk mengambil sebab, kita menutup pintu rumah karena khawatir dimasuki maling. Demikian juga, terkadang kita membawa senjata ketika ada kebutuhan. Semua ini merupakan pengambilan sebab yang diperintahkan syariat dan tidak menafikan tawakal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling bertawakal, namun ketika perang Uhud beliau tetap membawa senjata dan memakai pakaian perang. Demikian juga di perang Badar. Bahkan pada perang Uhud beliau memakai dua lapis baju perang. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga memasuki Makkah dengan menggunakan penutup kepala. Semua ini merupakan pengambilan sebab. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan hal tersebut padahal beliau manusia yang paling bertawakal.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/21569
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Hadits Tentang Bersiwak, Doa Untuk Sahabat Sejati, Muslim Terbaik, Qobliyah Subuh
Artikel asli: https://muslim.or.id/23472-fatwa-ulama-apakah-berobat-ketika-sakit-berarti-tidak-tawakal.html